Di
keheningan malam ini. Dalam suasana gerimis menahan rindu. Aku terpaku pada
sebuah album usang di bawah meja kayu tua. Kudekati dan kusapa album itu, “apa
kabarmu?”. Album itu adalah kumpulan foto foto yang telah usang termakan usia.
Ya… usang dan tampak tak menarik bagi orang lain. Namun bagiku, album itu
adalah album kenangan. Album yang setiap saat dapat membuatku tertawa bahagia,
namun juga menangis haru menahan rindu.
Wahai,
album kenangan. Covernya telah sobek termakan usia, kubuka lembar demi lembar
album tua ini. Helai demi helai melekat tertanda lama tak disapa. Kuperhatikan
setiap sudut lembarannya telah berwana hitam, yang mungkin saja mengisyaratkan
sebuah kelalaian sang pemilik. Namun, cacatnya album ini tak mengurangi syarat
makna dan kebahagiaan yang terkandung di dalamnya. Teruntuk papaku, cinta
pertama dan lelaki terhebatku… Dalam sebuah lembaran album, kupandangi sosok
sang papa di usia muda, masih terlihat kekar, bersih, dan putih. Kumisnya
lebat, senyumnya lebar, rambutnya sedikit panjang. Bajunya bergaya zaman 80 an.
Di sudut bawah, meski telah cacat menghitam, masih terlihat jelas tahun
diambilnya foto itu, 1986.
Yah,
aku sangat mengingat cerita cerita saat papa pertama merantau. Rela berpisah
dengan bapak ibunya demi mencari sesuap nasi. Papa berasal dari keluarga
pendidik, kakek neneknya pun seorang guru. Namun, menjadi anak sulung dengan 6
adik menjadikan keluarganya serba hidup dalam kesederhanaan. Hanya dapat
mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Menengah Atas. Selepas sekolah,
akhirnya merantau, meninggalkan tanah kelahiran dan berpisah dari orang
tercinta, bapak, ibu serta keenam adik adiknya adalah jalan terbaik untuk
memperoleh penghidupan yang lebih baik.
Papa,
aku salut dan bangga dengan perjuanganmu. Keputusan yang tepat, walau berat,
menjadikan kehidupan kita seperti sekarang ini. Di usia lima tahun, samar-samar
aku teringat pada motor butut merah yang sering kau gunakan sebagai alat tempur
untuk menafkahi kami. Motor itu terlihat ramping, tak seperti body motor
keluaran terbaru masa kini. Meski sering mogok, sungguh si merah kala itu
mengabdi pada tuannya selama lebih dari 10 tahun. Dia menjadi saksi teriknya
mentari yang membakar tubuhmu dan derasnya cucuran keringat yang mengalir
membasahi sekujur tubuhmu.
Di
usiaku yang masih kecil kala itu, aku tak begitu tahu apa yang papa lakukan
sedari pagi hingga sore di luar sana. Di saat malam hari menyempatkan waktu
sejenak bercanda bersama keluarga kecil dan menemaniku bermain. Kemudian
kembali ke meja kerja menulis hingga larut. Bangun lebih awal. Kedua tangannya
menjadi kekar mengangkat beban ember berisi air penuh, dari sumur yang berjarak
sekitar 50 meter dari rumah, mengisi bak mandi hingga airnya tumpah karena
meluap.
Dan
yang kutahu adalah, mainanku banyak, bajuku cantik, sepatuku baru. Sementara,
aku pun tak pernah tahu seberapa besar pengorbanan papa, seberapa banyak
cucuran keringat yang tertumpah, seberapa pahitnya lika liku pengorbanan untuk
memenuhi semua kebutuhanku itu.
Papa,
sungguh lelaki terhebatku, aku mencintaimu karena kau cinta pertamaku.
Saat
ini usiamu menginjak 62 tahun. Masa purnabakti telah menghampirimu. Ada banyak
keluhan yang kau sampaikan kepada kami tentang kesehatanmu. Dan hal yang paling
mengiris hatiku saat sebuah penyakit menghampirimu dan mengharuskan suatu
tindakan operasi. Betapa engkau yang tak pernah mengeluh sakit sebelumnya, tiba
tiba harus berhadapan dengan alat tempur sang dokter bedah. Kala itu, kepanikan
menghampiriku, namun dikuatkan oleh sikap tenang sang mama, aku berdoa pada
Allah semoga operasi papa berjalan dengan lancar. Dua jam berlalu,
alhamdulillah atas izinNya, semua baik baik saja saat itu. Namun, keluhan
terjadi lagi pasca operasi, sungguh hati ini semakin teriris mendengar setiap
rintihan-rintihan yang terucap dari mulut papa.
Tertegun
dalam hati kutatap dalam dalam wajah papa di lembaran ke sepuluh album usang
itu, tak sadar air mataku menetes, dadakupun terasa sesak. Aku terisak dalam
sebuah malam yang semakin larut. Aku bersandar di dinding untuk menopang
badanku. Lalu, kulanjutkan pengembaraanku dengan membuka helai demi helai
lembaran album. Kutemukan fotoku masih berbaju seragam merah putih saat sedang
tertawa lepas bersama papa di depan si hitam, motor butut kedua yang juga
menjadi kendaraan satu satunya saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Mungkin
foto itu diambil oleh mama ketika kami hendak ke sekolah.
Aku
rindu. Rindu saat-saat papa selalu mengantarku ke sekolah setelah meneguk
secangkir kopi. Teringat ketika aku selalu marah dan berteriak saat sedang
terburu-buru dan papa masih betah berlama-lama di kamar mandi untuk melakukan
ritual pagi. Tiba-tiba tertawa mengingat hal itu. Sungguh bahagia bercampur
haru. Terima kasih papa yang selalu sabar menghadapiku. Yang setiap hari rela
mengantar jemput dari rumah ke sekolah, sekolah ke rumah.
Walau
sikap keras kita berdua sering bertabrakan dan tak sejalan, aku A dan kau B,
namun tak pernah pudar cinta ini terhadapmu. Sering pula aku menentang
pendapatmu dengan suara bernada tinggi, namuN kau tetap menyayangiku. Ya Allah,
ampuni aku, maafkan dosaku terhadap kedua orangtuaku.
Teruntuk
papaku,
Cukuplah
kau berjuang untuk kami. Izinkan aku yang berganti merawat dan berbakti
kepadamu di hari tua, hingga dunia memisahkan kita.
Kulanjutkan
kembali berkelana menyusuri setiap pengalaman yang indah dan berharga kala itu,
sekitar dua hingga puluh tahun silam dalam album kenangan yang telah usam
termakan usia. Kutemukan wajah mamaku yang sedang kusut. Aku tersenyum sejenak
dalam linangan air mata. Aku ingat betul pernah menanyakan foto ini kepada
mama, “ini foto kapan? Kok wajah mama kusam begini?”. Dengan sebuah senyuman
yang menyejukkan hati, mama menjawab “foto itu diambil saat-saat mama menjadi
pengangguran”.
Ya
aku tau, di usia dewasa dan menjadi pengangguran itu bebannya begitu berat.
Uang tak ada, ingin meminta tapi malu. Beban itu melekat kemanapun kaki
melangkah. Ekspresi wajah pun tak dapat berbohong walau hendak
menyembunyikannya dari orang lain.
Layaknya
sang papa, mama memutuskan meninggalkan keluarga tercinta, orang tua, kakak,
dan adiknya merantau jauh mengarungi lautan untuk memperoleh hidup yang lebih
baik. Tak ada sanak saudara, berjalan sendiri ke sana kemari, membawa map
berwarna coklat dengan menggenggam sebuah asa dan harapan, “aku harus bekerja”.
Jemariku
terus bermain membuka helai demi helai sang album kenangan yang telah usang
termakan usia. Mataku semakin sembab hanyut dalam cerita dan memori masa silam.
Kulihat lagi foto pernikahan kedua orangtuaku, mama anggun berdiri di samping
papa menggunakan pakaian pernikahan adat Jawa berwarna hitam bludru. Kemudian
di lembaran selanjutnya, duduk di samping papa dengan perut buncit kira kira
sedang mengandung usia 8 atau 9 bulan.
Teruntuk
mamaku, wanita terhebatku.
Sungguh
berat beban hidupmu, mengandungku sedari bentuk tetesan air mani menjadi
segumpal darah. Merawatku sejak kecil hingga aku bisa seperti sekarang. Tak
sekedar itu, kaupun membantu papa berjuang mencari nafkah di tanah rantau.
Teringat
ceritamu saat berjuang melahirkanku, tak ada sanak saudara, tak ada harta pun
uang. Hanya mengandalkan uluran tangan dan beberapa “baju bekas” anak tetangga
kala itu untuk membungkusku dari rasa dingin saat pertama kali dunia menyapaku.
Sungguh kain bekaspun menjadi sangat berarti ketika kita berada dalam posisi
paling bawah. Kisah mereka seakan memberi makna berharga tentang kehidupan ini.
“Janganlah
kau bersikap sombong ketika sedang berada di puncak, karena kekayaan hanyalah
milih Allah semata. Kapanpun Dia dapat mengambilnya darimu, bahkan saat kau
bergelimang harta, dalam sekejap dapat hilang ditelan bumi. Sesungguhnya, dalam
posisi tersebut, itu berarti kau diberi kesempatan lebih oleh Allah untuk
berbuat kebaikan membantu sesama”.
Di
dunia ini harta bukanlah segalanya. Hanya kebaikan yang akan membawa
kebahagiaan untuk kita. Aku percaya bahwa orangtuaku adalah orang baik. Walau
di rantau, kami tak kekurangan kebahagiaan karena begitu banyak cinta dan
kebaikan orang yang datang kepada kami.
Mama,
Kaulah
wanita satu satunya yang bisa memotivasiku hingga aku bisa seperti saat ini.
Lika liku dan kerasnya kehidupan telah berhasil kau taklukkan bersama papa
terhebatku. Aku kuat dan tangguh karena kalian.
Teringat
cerita sekolahku yang setiap pagi tak kan pernah dapat meninggalkan rumah
ketika belum menyantap sarapan yang buatan mama. Aroma masakan mamalah yang
kadang membangunkanku dari tidur panjang. Rutinitas pagi hari yang
menyibukkanmu sebagai orangtua juga seorang istri. Kemudian dilanjutkan dengan
aktivitas di kantor sebagai abdi negara. Sungguh mulia pengorbananmu.
Teringat
beberapa gertakan dengan nada suara yang tinggi ketika menginginkan ini itu
namun tak dipenuhi. Meraung-raung tak terkendali. Mengurung diri di kamar
sebagai bentuk protes. Namun kau tetap sabar dan bijak menghadapiku.
Buat
kedua orangtuaku, mama dan papa…
Terima
kasih kepada kalian. Maafkan aku yang begitu banyak dosa terhadap kalian.
Begitu banyak salah dan khilaf. Betapa aku anak yang tak tau diri, tak tau
berterima kasih. Maafkan aku. Sungguh jika dapat kuputar waktu kembali, aku
ingin kembali menjadi seorang bayi suci yang bersih dari dosa dan tak akan
kunodahi dengan gertakan, protes, kenakalan, raungan, dan kemarahan kepada
kalian.
Malam
semakin larut, rasa dingin semakin menusuk, dan matapun semakin sembab. Harus
kusudahi bermain dengan memori masa silam bersama cerita sang album kenangan
yang telah usang. Segera kuberanjak menunaikan dua rakaat, dan kulanjutkan
untuk merajuk kepada sang pemilik kehidupan.
Tuhan,
jika boleh aku meminta. Izinkan aku mengukir kebahagiaan di hari tua kedua
orangtuaku. Genapkanlah umurku dan kedua orangtuaku hingga aku bisa membalas
jasa mereka terhadapku walau tak sebesar kasih sayang mereka.
Tuhan,
kutuliskan sebuah surat cinta untuk merayumu dan mengharap belas kasihmu.
Kusebutkan segala Asmaulhusnah agar kau terkesima. Kupanjatkan segala doa
terbaik agar kau mengijabahnya.
Amin
Ya Allah.
Komentar
Posting Komentar